- Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
- Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
- Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian
telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994)
mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
- Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
- Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
- Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
- Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Survey tahun 1981 di Australia
menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan
ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron,
1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).
Perlu dijelaskan bahwa decibel
(disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini
diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya
tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan
bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
Bagi para fisikawan, decibel merupakan
ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu
gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan
tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan
udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen
fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu,
di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB
klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram,
yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah
tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga
orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz
(Ashman & Elkins, 1994).
Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu
tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui
pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga
cara tersebut.
1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang
lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi,
hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger,
1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang
tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan,
atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca
bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila
ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga
dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi”
itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan
pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan
terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca
bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang
menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi
di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara,
isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak
(Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D.
di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan
sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang
tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan
sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini
adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan
memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan
bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar
60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk
mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun
bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman
sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan
bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat
memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar
yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear
implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua
komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang
dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang
melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ
pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal
tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant
dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan
auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup
baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti
bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh
manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu
jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat
memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu
itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould
yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu
cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat.
Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa
isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku
memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga
mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa
isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk
masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram
bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan
tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam
pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan
auditori-verbal dan auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan
agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang
memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif
dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi
manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan
berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan
dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan
masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip
mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori
verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang
harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk
mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang
mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah
tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg
& Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas
responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup
“reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam
lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang
tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam
kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya
setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal
(Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan
atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan,
baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis
bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan
sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan
secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan
sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa
pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa
lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral.
Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut
di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari
empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan
pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan
itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam
kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua
tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan
keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan
tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata,
frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik
dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam
setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan
pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah
pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas
khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini
tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan
auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung
dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak
berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers
dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa
tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan
berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14
tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh
populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar