Kaum difabel, sangatlah banyak dijumpai di tanah air kita, Indonesia. Kaum
difabel ialah singkatan dari Different Ability People. Sebutan difabel dialamatkan untuk mereka yang terlahir dengan kemampuan khusus yang berbeda, di balik kekurangan yang mereka miliki. Contohnya, dari yang menyandang cacat pada kedua tungkai kaki atau tangannya, seorang tuna netra, tuna rungu atau sesuatu yang berhubungan dengan masalah psikisnya. Umumnya kaum difabel ini sendiri berasal dari kaum marginal, biasanya mereka kurang mendapatkan kelayakan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan tidak jarang dibuang dari keluarga dan tersisih di dalam sebuah masyarakat.
Sekarang,
apakah mereka harus terus hidup seperti itu? Tidakkah mereka punya
harapan lain, yang membuat mereka harus tetap hidup di dunia ini dengan
lebih layak? Adakah orang yang memikirkan bagaimana mereka dapat hidup
utuh meskipun harus berkebutuhan khusus? Apakah mereka hanya akan
menjadi objek ‘bantuan sosial’ dan mengharapkan kedermawanan
orang-orang berkecukupan? Bukankah seharusnya mereka juga mendapatkan
keadilan sosial sama seperti yang lain? Dan berapa banyak dari kita
yang benar-benar tergerak hatinya untuk memberikan mereka kelayakan dan
harapan baru untuk tumbuh berkembang sama seperti yang lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif inilah yang akan saya coba kupas di
dalam tulisan ini.
Bila tidak ditangani, maka kaum difabel akan menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan negara. Mereka akan menjadi beban baik keluarga, masyarakat dan konteks yang lebih luas negara. Karena akhirnya mereka hanya mampu terkapar di jalanan sebagai peminta-minta. Sangat banyak kita jumpai pengemis yang mengobral kecacatan mereka, untuk menuntut belaskasihan. Bagi mereka yang tergerak hatinya akan memberikan se-sen dari sakunya, tapi tidak sedikit juga yang melewatinya tanpa melirik sedikit pun. Atau bahkan memprotes karena menganggap mereka hanya menyita waktu dan menyebabkan kekacauan pada jalanan lalu lintas. Sebenarnya tidak sedikit juga dari mereka yang mau berjuang untuk mempertahankan kehidupan mereka. Meski dengan keadaan fisik yang tidak memungkinkan, mereka mau melakukan suatu pekerjaan untuk mendapatkan kelayakan dengan berusaha dengan segala daya upaya daripada harus mengemis dan mempertontonkan kecacatan fisik mereka. Tentu saja hal ini sangat membantu. Tapi berapa banyak yang sadar dan mau melakukan hal tersebut? Atau mungkin mereka yang sudah berusaha, malah tidak mendapatkan tanggapan dan merasa tidak diperhitungkan karena kekurangan mereka. Sebenarnya hidup ini adil atau tidak? Kalau mereka bisa menyerukan suara dengan lantang, tentu mereka akan berkata, "Tidak, tidak ada keadilan bagi kami!" Sebenarnya, bukan kehidupan yang tidak adil, tapi mereka! Mereka yang tidak bertanggung jawab, dan mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Siapa mereka? Mereka adalah kita sendiri, rakyat Indonesia. Berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa empati dan peduli dengan mereka? Bisa saja kita memberikan mereka sedekah pada waktu-waktu tertentu. Tetapi apakah kita tidak peduli apa yang selanjutnya mereka lakukan dengan uang itu dan apa yang terjadi pada hari esok akan kehidupan mereka? Apakah uang itu akan digunakan untuk membeli sesuap nasi? Atau untuk anak mereka (bagi yang hidup dengan anaknya)? Atau mungkin akan disetor kepada orang lain yang berkuasa di tempat di mana mereka dapat beristirahat. Tidaklah gampang untuk mengatakan, "Kenapa mereka tidak bekerja saja, seperti menjahit, membuat kerajinan, atau apapun yang dapat di lakukan", sementara kita sendiri tidak memberi mereka harapan untuk peluang tersebut. Umumnya, kita hanya memusatkan diri pada hal-hal yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Oleh sebab itu kita hanya mementingkan orang-orang yang dapat diandalkan melalui pemikiran, juga fisik mereka. Sama halnya dengan yang membuka usaha sendiri, atau yang memiliki perusahaan-perusahaan terkemuka. Tidak ada alasan bagi mereka untuk merasa perlu memperhatikan para kaum difabel. Begitu juga dengan persyaratan sekolah-sekolah di zaman global ini, yang semakin menuntut kesempurnaan fisik (artinya tanpa cacat). Jadi siapa lagi yang membutuhkan atau mau mempekerjakan mereka? Siapa lagi yang mau menampung dan mendidik mereka? Menyuarakan Pada Pemerintah Sebenarnya kita dapat memiliki peranan penting bagi keutuhan hidup kaum difabel. Selain, kita terus berusaha untuk menyuarakan kepada pemerintah akan pembiaran kaum difabel untuk mendapatkan kelayakan, kita juga dapat memulai dari hal yang sederhana. Contohnya, dengan ikut berpartisipasi dalam bantuan donatur kepedulian, ikut membantu dalam bakti sosial yang diadakan oleh pihak pemerintah. Bagi pihak pemerintahan di bidang pendidikan dan sosial budaya, dapat mencanangkan suatu institusi yang dikhususkan untuk membina para kaum difabel. Di sini mereka akan dibina melalui karakter mereka, intelektual juga sedikit banyaknya bakat yang mereka miliki. Bagi para pengusaha-pengusaha kerajian, dapat membuka kursus untuk melatih mereka untuk dipekerjakan. Melalui langkah tersebut pastinya kehidupan mereka sangat terbantu. Karena mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Mereka juga berhak untuk meraih kesuksesan, karena kesuksesan itu bukan hanya milik mereka yang berlimpah dalam hal materi, memiliki kekayaan bakat atau fisik yang sempurna. Dan sekarang, kitalah yang harus mendukung mereka untuk tumbuh berkembang. Kitalah yang harus membantu mereka untuk mewujudkan setiap usaha yang mereka lakukan. Dengan itu, mereka akan merasa kalau hidup mereka lebih berarti. Melalui hal tersebut Pemerintah juga terbantu dalam menangani kasus-kasus para kaum marginal, maupun kaum difabel. Sehingga usaha untuk mencapai kemakmuran dalam negeri semakin meningkat. Dan kita tidak melihat kaum difabel tidak lebihnya sampah masyarakat yang mengganggu, namun kita melihat bahwa mereka adalah bagian dari kita yang juga berhak mendapatkan keutuhan hidup seperti kita. Jadi, mungkinkah kaum difabel dapat memperoleh keutuhan hidup? Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing! *** (Penulis Mahasiswa STT Cipanas, Anggota Kelompok Menulis STT Cipanas). |
assalamualaikum
Senin, 12 November 2012
Keutuhan Hidup Bagi Kaum Difabel, Mungkinkah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar