Hati-hati memberikan layanan pendidikan terhadap
anak-anak yang sulit berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat
berisiko menghambat perkembangan intelegensia anak.
Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan
emosi cenderung dicap tunagrahita. Itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang
disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa
jadi, anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara autisme dan
tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun
harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di
sela-sela seminar “Memahami dan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak
Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2).
Menurut
Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan
berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan
emosi. Penyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sinkron. Ada
yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan,
anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas.
Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang.
Adapun
tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental,
jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi
juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan
fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan
menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya
tidak mencukupi.
“Sepintas,
anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi,
dalam perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih
cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah
Mudjito.
Dalam
seminar yang menampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur Pelita Hati,
Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ery Soekresno Psi
(konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut, terungkap bahwa istilah
autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya
sendiri.
Penyebab
autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan lingkungan sosial.
Awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada “Autism Summit” di
California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejala autisme disebabkan
oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor lingkungan yang belum
teridentifikasi.
Mengutip
International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan
sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada
otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam
otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat
putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan
wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua,
lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada rata-rata lingkaran
kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya
tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 tahun.
Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis
berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak normal berusia 13
tahun.
Beberapa
teori lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat disebabkan oleh virus
seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi buruk, perdarahan, dan
keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhan sel otak pada
bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung terganggu, terutama fungsi
pemahaman, komunikasi, dan interaksi.
Terkait
dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut
mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan
minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa juga
karena sayur dan buah yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
Tak
pelak, prevalensi (peluang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an,
di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran naik menjadi 15-20
per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, sudah mencapai 60 per
10.000 kelahiran.
Belum
ada data tentang prevalensi autisme di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup
kurang sehat di negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia,
fenomenanya diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada di kota
besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir tidak
ditemukan,” papar Mudjito.
Ia
menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang membuka
layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung
menyeluruh, termasuk aspek medis.
Hanyalah
satu dari delapan jenis kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran layanan
pendidikan khusus, yang kini dikembangkan pemerintah dan masyarakat.
Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan),
tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita
(keterbelakangan mental), dan tunalaras (bertingkah laku aneh).
Badan
Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang
mengalami kelainan seperti itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan
luar biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Sesuai
Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan
khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak lainnya.
Oleh
karena itu, pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusi, di mana sekolah
umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus,
terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya, pengadaan guru khusus untuk
pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota
pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500 guru sekualifikasi
itu yang terangkat. Padahal, secara nasional masih dibutuhkan 1.500.
Jika
secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak
autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullah nara) sumber:
kompas.
|
:)
assalamualaikum
Senin, 19 November 2012
tuna grahita dengan autis itu beda, ini perbedaannya
Minggu, 18 November 2012
Tentang anak Tuna Ganda
Pengertian dan Karakteristik Anak Tunaganda
Yang disebut anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius ,sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.
Anak tunaganda biasanya menunjukkan fenomena-fenomena perlaku di antaranya :
1. Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
3. Seringkali menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan.
4. Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri.
5. Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif.
6. Kecenderungan lupa akan keterampilan keterampilan yang sudah dikuasai.
7. Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Klasifikasi anak Tunaganda
Pada dasarnya ada beberapa kombinasi kelaianan, di antaranya:
1. Kelainan utamanya tunagrahita.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetrainilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
2. Kelainan utamanya tunarungu.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
3. kelainan utamanya tunanetra.
Gabungannya dapat berwujud tunalaras, tunarungu, dan kelainan yang
4. Kelainanan utamanya tunadaksa.
Gabungannya dapat berwujud tunagrahita, tunanetra, tunarungu, gayaemosi, dan kelainan lain.
5. Kelainan utamanya tunalaras.
Gabungannya dapat berwujud austisme dan pendengaran.
6. Kombinasi kelainan lain.
Penyebab Anak Tunaganda
Anak tunaganda disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada saat sebelum kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.
1. Faktor Prenatal :
ketidaknormalan kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu, kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung, serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alcohol.
2. Faktor Natal :
Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat
keiahiran luka pada otak saat kelahiran.
3. Faktor natal :
Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan
mendapat pukulan atau siksaan ,
4. Nutrisi yang salah :
Anak tidan dirawat dangan baik, keracunan makanan
atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat
berpengaruh tehadap otak (meningitis atau encephalities).
Prevalensia Anak Tunaganda
mengingat belum ada defininsi yang dapat diterima secara umum tentang anak tunaganda, maka tidak ada gambaran yang akurat tentang prevalensi anak tunaganda. jika menggunakan analog di Amerika Serikat, maka jumlah anak tunaganda berkisar sekitar 0,05% sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya. Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak tunaganda di Indonesia proporsinya sama dengan yang di Amerika Serikat, maka jumlah anak anak usia sekolah di Indonesia yang sekitar 60 juta orang, maka anak tunaganda Indonesia sekitar 99.000 anak sampai 110.000 anak.
LAYANAN PENDIDIKANNNYA
Pada masa lalu,tunaganda secara rutin dipisahkan dari sekolah regular,bahkan sekolah Khusus .Namun sejak tahun 80-an layanan pendidikan bagi anak tunaganda semakin mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus. Demikian juga program-program pendidikan bagi anak
tunaganda semakin dikembangkan untuk anak usia sedini mungkin.setidak-tidaknya program pendidikan lebih diorientasikan untuk meninmgkatkan kemandirian anak.untuk menjaga efekvitas program pendidikan,maka program seharusnya mengakes empat bidang utama, yaitu bidang domestik, rekreasional, ,kemasyarakatan, dan vokasional.Hasil asesmen ini mungkinkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih fungsional.Sementara itu dengan pengajaran seharusnya mencakup,di antaranya:ekspresi pilihan, komunikasi,pengembangan keterampilan fungsional,dan latihan keterampilan sosial sesuai dengan usianya,menyadari akan kondisi obyektif anak anak tunaganda,maka pendekatan multidipliner adalah penting.Oleh karena itu orang-orang yang sesuai dalam mengatasi anak tunaganda,seperti terapis bicara dan bahasa,terapis
bicara dan bahasa,terapi fisik dan okupasional seharusnya bekerjasama dengan guru-guru kelas,guru-guru khusus dan orangtua,karena perlajuan yg lebih cocok untuk mengatasi anak-anak tunaganda berkenaan dengan masalah ketererampilan adalah memberikan layanan yang terbaik daripada yang diberikan ditempat terapi yang terpisah.Untuk dapat menjamin kemandirian menjamin kemandirian anak tunaganda dalam proses pembelajaran perlu didukung dengan penataan kelas yang sesuai,alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsionalnya.
Integrasi dengan anak seusia merupakan komponen lainnya yg penting.menghadirin sekolah regular dan berpartisipasi dalam kegiatan yg sama dengan anak-anak normal adalah penting untuk pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan,di samping dapat mendorong adanya perubahan sikap yg lebih positif.
Yang disebut anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius ,sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.
Anak tunaganda biasanya menunjukkan fenomena-fenomena perlaku di antaranya :
1. Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
3. Seringkali menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan.
4. Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri.
5. Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif.
6. Kecenderungan lupa akan keterampilan keterampilan yang sudah dikuasai.
7. Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Klasifikasi anak Tunaganda
Pada dasarnya ada beberapa kombinasi kelaianan, di antaranya:
1. Kelainan utamanya tunagrahita.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetrainilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
2. Kelainan utamanya tunarungu.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
3. kelainan utamanya tunanetra.
Gabungannya dapat berwujud tunalaras, tunarungu, dan kelainan yang
4. Kelainanan utamanya tunadaksa.
Gabungannya dapat berwujud tunagrahita, tunanetra, tunarungu, gayaemosi, dan kelainan lain.
5. Kelainan utamanya tunalaras.
Gabungannya dapat berwujud austisme dan pendengaran.
6. Kombinasi kelainan lain.
Penyebab Anak Tunaganda
Anak tunaganda disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada saat sebelum kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.
1. Faktor Prenatal :
ketidaknormalan kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu, kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung, serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alcohol.
2. Faktor Natal :
Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat
keiahiran luka pada otak saat kelahiran.
3. Faktor natal :
Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan
mendapat pukulan atau siksaan ,
4. Nutrisi yang salah :
Anak tidan dirawat dangan baik, keracunan makanan
atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat
berpengaruh tehadap otak (meningitis atau encephalities).
Prevalensia Anak Tunaganda
mengingat belum ada defininsi yang dapat diterima secara umum tentang anak tunaganda, maka tidak ada gambaran yang akurat tentang prevalensi anak tunaganda. jika menggunakan analog di Amerika Serikat, maka jumlah anak tunaganda berkisar sekitar 0,05% sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya. Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak tunaganda di Indonesia proporsinya sama dengan yang di Amerika Serikat, maka jumlah anak anak usia sekolah di Indonesia yang sekitar 60 juta orang, maka anak tunaganda Indonesia sekitar 99.000 anak sampai 110.000 anak.
LAYANAN PENDIDIKANNNYA
Pada masa lalu,tunaganda secara rutin dipisahkan dari sekolah regular,bahkan sekolah Khusus .Namun sejak tahun 80-an layanan pendidikan bagi anak tunaganda semakin mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus. Demikian juga program-program pendidikan bagi anak
tunaganda semakin dikembangkan untuk anak usia sedini mungkin.setidak-tidaknya program pendidikan lebih diorientasikan untuk meninmgkatkan kemandirian anak.untuk menjaga efekvitas program pendidikan,maka program seharusnya mengakes empat bidang utama, yaitu bidang domestik, rekreasional, ,kemasyarakatan, dan vokasional.Hasil asesmen ini mungkinkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih fungsional.Sementara itu dengan pengajaran seharusnya mencakup,di antaranya:ekspresi pilihan, komunikasi,pengembangan keterampilan fungsional,dan latihan keterampilan sosial sesuai dengan usianya,menyadari akan kondisi obyektif anak anak tunaganda,maka pendekatan multidipliner adalah penting.Oleh karena itu orang-orang yang sesuai dalam mengatasi anak tunaganda,seperti terapis bicara dan bahasa,terapis
bicara dan bahasa,terapi fisik dan okupasional seharusnya bekerjasama dengan guru-guru kelas,guru-guru khusus dan orangtua,karena perlajuan yg lebih cocok untuk mengatasi anak-anak tunaganda berkenaan dengan masalah ketererampilan adalah memberikan layanan yang terbaik daripada yang diberikan ditempat terapi yang terpisah.Untuk dapat menjamin kemandirian menjamin kemandirian anak tunaganda dalam proses pembelajaran perlu didukung dengan penataan kelas yang sesuai,alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsionalnya.
Integrasi dengan anak seusia merupakan komponen lainnya yg penting.menghadirin sekolah regular dan berpartisipasi dalam kegiatan yg sama dengan anak-anak normal adalah penting untuk pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan,di samping dapat mendorong adanya perubahan sikap yg lebih positif.
Senin, 12 November 2012
Keutuhan Hidup Bagi Kaum Difabel, Mungkinkah
Kaum difabel, sangatlah banyak dijumpai di tanah air kita, Indonesia. Kaum
difabel ialah singkatan dari Different Ability People. Sebutan difabel dialamatkan untuk mereka yang terlahir dengan kemampuan khusus yang berbeda, di balik kekurangan yang mereka miliki. Contohnya, dari yang menyandang cacat pada kedua tungkai kaki atau tangannya, seorang tuna netra, tuna rungu atau sesuatu yang berhubungan dengan masalah psikisnya. Umumnya kaum difabel ini sendiri berasal dari kaum marginal, biasanya mereka kurang mendapatkan kelayakan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan tidak jarang dibuang dari keluarga dan tersisih di dalam sebuah masyarakat.
Sekarang,
apakah mereka harus terus hidup seperti itu? Tidakkah mereka punya
harapan lain, yang membuat mereka harus tetap hidup di dunia ini dengan
lebih layak? Adakah orang yang memikirkan bagaimana mereka dapat hidup
utuh meskipun harus berkebutuhan khusus? Apakah mereka hanya akan
menjadi objek ‘bantuan sosial’ dan mengharapkan kedermawanan
orang-orang berkecukupan? Bukankah seharusnya mereka juga mendapatkan
keadilan sosial sama seperti yang lain? Dan berapa banyak dari kita
yang benar-benar tergerak hatinya untuk memberikan mereka kelayakan dan
harapan baru untuk tumbuh berkembang sama seperti yang lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif inilah yang akan saya coba kupas di
dalam tulisan ini.
Bila tidak ditangani, maka kaum difabel akan menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan negara. Mereka akan menjadi beban baik keluarga, masyarakat dan konteks yang lebih luas negara. Karena akhirnya mereka hanya mampu terkapar di jalanan sebagai peminta-minta. Sangat banyak kita jumpai pengemis yang mengobral kecacatan mereka, untuk menuntut belaskasihan. Bagi mereka yang tergerak hatinya akan memberikan se-sen dari sakunya, tapi tidak sedikit juga yang melewatinya tanpa melirik sedikit pun. Atau bahkan memprotes karena menganggap mereka hanya menyita waktu dan menyebabkan kekacauan pada jalanan lalu lintas. Sebenarnya tidak sedikit juga dari mereka yang mau berjuang untuk mempertahankan kehidupan mereka. Meski dengan keadaan fisik yang tidak memungkinkan, mereka mau melakukan suatu pekerjaan untuk mendapatkan kelayakan dengan berusaha dengan segala daya upaya daripada harus mengemis dan mempertontonkan kecacatan fisik mereka. Tentu saja hal ini sangat membantu. Tapi berapa banyak yang sadar dan mau melakukan hal tersebut? Atau mungkin mereka yang sudah berusaha, malah tidak mendapatkan tanggapan dan merasa tidak diperhitungkan karena kekurangan mereka. Sebenarnya hidup ini adil atau tidak? Kalau mereka bisa menyerukan suara dengan lantang, tentu mereka akan berkata, "Tidak, tidak ada keadilan bagi kami!" Sebenarnya, bukan kehidupan yang tidak adil, tapi mereka! Mereka yang tidak bertanggung jawab, dan mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Siapa mereka? Mereka adalah kita sendiri, rakyat Indonesia. Berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa empati dan peduli dengan mereka? Bisa saja kita memberikan mereka sedekah pada waktu-waktu tertentu. Tetapi apakah kita tidak peduli apa yang selanjutnya mereka lakukan dengan uang itu dan apa yang terjadi pada hari esok akan kehidupan mereka? Apakah uang itu akan digunakan untuk membeli sesuap nasi? Atau untuk anak mereka (bagi yang hidup dengan anaknya)? Atau mungkin akan disetor kepada orang lain yang berkuasa di tempat di mana mereka dapat beristirahat. Tidaklah gampang untuk mengatakan, "Kenapa mereka tidak bekerja saja, seperti menjahit, membuat kerajinan, atau apapun yang dapat di lakukan", sementara kita sendiri tidak memberi mereka harapan untuk peluang tersebut. Umumnya, kita hanya memusatkan diri pada hal-hal yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Oleh sebab itu kita hanya mementingkan orang-orang yang dapat diandalkan melalui pemikiran, juga fisik mereka. Sama halnya dengan yang membuka usaha sendiri, atau yang memiliki perusahaan-perusahaan terkemuka. Tidak ada alasan bagi mereka untuk merasa perlu memperhatikan para kaum difabel. Begitu juga dengan persyaratan sekolah-sekolah di zaman global ini, yang semakin menuntut kesempurnaan fisik (artinya tanpa cacat). Jadi siapa lagi yang membutuhkan atau mau mempekerjakan mereka? Siapa lagi yang mau menampung dan mendidik mereka? Menyuarakan Pada Pemerintah Sebenarnya kita dapat memiliki peranan penting bagi keutuhan hidup kaum difabel. Selain, kita terus berusaha untuk menyuarakan kepada pemerintah akan pembiaran kaum difabel untuk mendapatkan kelayakan, kita juga dapat memulai dari hal yang sederhana. Contohnya, dengan ikut berpartisipasi dalam bantuan donatur kepedulian, ikut membantu dalam bakti sosial yang diadakan oleh pihak pemerintah. Bagi pihak pemerintahan di bidang pendidikan dan sosial budaya, dapat mencanangkan suatu institusi yang dikhususkan untuk membina para kaum difabel. Di sini mereka akan dibina melalui karakter mereka, intelektual juga sedikit banyaknya bakat yang mereka miliki. Bagi para pengusaha-pengusaha kerajian, dapat membuka kursus untuk melatih mereka untuk dipekerjakan. Melalui langkah tersebut pastinya kehidupan mereka sangat terbantu. Karena mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Mereka juga berhak untuk meraih kesuksesan, karena kesuksesan itu bukan hanya milik mereka yang berlimpah dalam hal materi, memiliki kekayaan bakat atau fisik yang sempurna. Dan sekarang, kitalah yang harus mendukung mereka untuk tumbuh berkembang. Kitalah yang harus membantu mereka untuk mewujudkan setiap usaha yang mereka lakukan. Dengan itu, mereka akan merasa kalau hidup mereka lebih berarti. Melalui hal tersebut Pemerintah juga terbantu dalam menangani kasus-kasus para kaum marginal, maupun kaum difabel. Sehingga usaha untuk mencapai kemakmuran dalam negeri semakin meningkat. Dan kita tidak melihat kaum difabel tidak lebihnya sampah masyarakat yang mengganggu, namun kita melihat bahwa mereka adalah bagian dari kita yang juga berhak mendapatkan keutuhan hidup seperti kita. Jadi, mungkinkah kaum difabel dapat memperoleh keutuhan hidup? Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing! *** (Penulis Mahasiswa STT Cipanas, Anggota Kelompok Menulis STT Cipanas). |
ini seputar anak CIBI (Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa)
Anak
CIBI (Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa) adalah anak - anak yang
memiliki kemampuan khusus yang melebihi anak lainnya yang sebaya dengan
mereka, umumnya anak CIBI memiliki IQ di atas rata-rata.
Anak CIBI disebut juga anak berbakat atau Gifted, yang walaupun mereka memiliki IQ di atas rata-rata tetap saja mereka membutuhkan pengembangan dan bimbingan agar potensi mereka tidak terbuang percuma.
Faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak CIBI ada 2 yaitu lingkungan dan genetika, lingkungan sangat berperan aktif dalam perkembangan anak CIBI karena sangat mempengaruhi bagaimana anak tersebut mendapat respon dari kemampuan mereka, lingkungan yang baik akan memberi pengaruh positif terhadap anak gifted sehingga mereka dapat berkembang dengan baik. Sebaliknya jika lingkungan memberi pengaruh negatif maka bakat anak CIBI akan terpendam.
Anak CIBI cenderung lebih aktif bertanya daripada anak lainnya dan mengalami ketidakseimbangan antara IQ dan EQ nya, anak yang memiliki IQ tinggi cenderung memiliki EQ yang rendah, sehingga mereka memiliki kendala dalam bersosialisasi dengan teman-temannya.
Anak CIBI disebut juga anak berbakat atau Gifted, yang walaupun mereka memiliki IQ di atas rata-rata tetap saja mereka membutuhkan pengembangan dan bimbingan agar potensi mereka tidak terbuang percuma.
Faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak CIBI ada 2 yaitu lingkungan dan genetika, lingkungan sangat berperan aktif dalam perkembangan anak CIBI karena sangat mempengaruhi bagaimana anak tersebut mendapat respon dari kemampuan mereka, lingkungan yang baik akan memberi pengaruh positif terhadap anak gifted sehingga mereka dapat berkembang dengan baik. Sebaliknya jika lingkungan memberi pengaruh negatif maka bakat anak CIBI akan terpendam.
Anak CIBI cenderung lebih aktif bertanya daripada anak lainnya dan mengalami ketidakseimbangan antara IQ dan EQ nya, anak yang memiliki IQ tinggi cenderung memiliki EQ yang rendah, sehingga mereka memiliki kendala dalam bersosialisasi dengan teman-temannya.
mengenal karakteristik anak indigo yuk :)
Sekarang ini sering kita dengar tentang anak indigo, bahkan tidak jarang kita temui anak-anak dengan kelebihan ini di sekitar kita. Telah banyak ahli yang meneliti mengenai karakteritik atau ciri sifat yang membedakan antara anak indigo dengan anak normal yang lain. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita mengetahui tentang karakteritik dan perilaku seperti apa yang sering ditunjukkan oleh anak indigo ini.
Anak indigo merupakan generasi baru yang terlahir di dunia ini. Anak ini memiliki karakteristik yang unik yang membedakan dengan generasi sebelumnya. Istilah indigo ini mengindikasikan aura dalam warna kehidupan. Kata indigo sendiri diambil dari nama warna yaitu indigo, yang dikenal sebagai warna biru sampai violet. Indigo sendiri juga terkait dengan indera keenam yang terletak pada cakra mata ketiga yang menggambarkan intuisi dan kekuatan bathin yang luar biasa tajam di atas kemampuan orang kebanyakan. Banyak dari mereka memiliki kelebihan dengan bakat yang luar biasa atau secara akademis berprestasi. Anak yang mengalami indigo ini mampu menunjukkan empati yang sangat dalam dan mudah merasa iba, serta tampak bijaksana untuk anak seusianya.
Anak indigo datang ke dunia dengan berbagai misi. Kebanyakan dari mereka merupakan pendobrak suatu tatanan yang salah. Mereka bertugas meluruskan ketidakbenaran dan ketidaksesuaian yang terjadi disekelilingnya. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku mereka yang tidak patuh dan kesulitan dalam menjalankan dengan sistem yang ada, misalnya saja penolakan dan sikap kaku terhadap system pendidikan yang ada.
Anak indigo juga sering menunjukkan perilaku memberontak terhadap suatu otoritas, tidak patuh terhadap aturan atau adat, kesulitan dalam mengelola emosinya, sensitive atau rapuh. Tidak jarang pula anak menunjukkan sikap yang sangat dingin dan tidak punya perasaan. Terkadang orang akan melabel anak dengan indikasi gangguan ADD (attention deficit disorder). Bentuk perilaku tersebut terkadang menyebabkan kesulitan bagi anak-anak ini dalam melewati masa kanak-kanak, bahkan dalam melewati masa remaja (Chapman. 2006).
Menjadi indigo tidaklah mudah, tapi hal itu merupakan suatu tugas yang harus dijalankan. Anak indigo merupakan salah satu orang yang hadir dan membawa hal yang baru terhadap suatu kemajuan di bumi ini.
Jan Yordy seorang terapis yang menuliskan tentang anak indigo mencoba mengkategorikan karakteristik anak indigo yang sering ditemui :
- Memiliki keinginan yang kuat, mandiri dengan melakukan apa yang ada di pikirannya daripada mematuhi kehendak orangtua
- Bijaksana dan memiliki tingkat kesadaran dan kebersamaan yang melebihi pengalamannya;
- Secara emosi, mereka dapat dengan mudahnya bereaksi sehingga tidak jarang mereka memiliki permasalahan dengan kecemasan, depresi atau stress;
- Kreatif dalam berpikir dengan menggunakan otak kanan namun tetap harus berusaha belajar dengan menggunakan otak kiri terutama pada sistem di sekolah;
- Anak indigo sering didiagnosis mengalami ADD atau ADHD saat mereka menunjukkan perilaku impulsive (otak mereka memproses informasi lebih cepat) dan mereka harus tetap bergerak agar selalu fokus;
- Anak ini sangatlah peka dan dapat melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu hal yang tidak dimiliki orang kebanyakan;
- Anak-anak ini belajar secara visual dan kinestetik, mereka dapat mengingat apa yang terekam dalam otak dan menciptakan melalui tangan;
- Apabila keinginan anak tidak terpenuhi, maka anak merasa kesulitan dan menjadi self centered. Meskipun hal ini bukanlah sifat sebenarnya;
- Anak memiliki potensi dan bakat yang luar biasa, namun dapat hilang begitu saja jika tidak sesuai dengan bentuk pengasuhan.
Dalam menangani anak indigo ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka memiliki kesulitan dalam mengelola emosinya. Pada beberapa anak hal ini disebabkan karena permasalahan kecemasan, kemungkinan perilaku obsesif kompulsif atau kepanikan yang berlebih (panic attack). Penyebab lain muncul karena mereka berusaha keras untuk belajar dan memahami cara yang masih tradisional atau kebiasaan rutin. Sehingga tidak jarang bagi mereka akan memiliki self esteem yang rendah dan mudah menyerah dalam mengerjakan yang diberikan (tugas sekolah misalnya). Terkadang beberapa anak indigo menunjukkan reaksi kemarahan, depresi, bahkan menyakiti diri sendiri yang berlebih yang tidak dapat dijelaskan secara logis bahkan menakutkan bagi orangtuanya.
Anak indigo memiliki getaran energi yang tinggi dengan pola yang menetap, yang kemudian ditunjukkan dengan aura warna indigo pada tubuhnya. Getaran tertinggi ini menciptakan perbedaan terhadap fungsi tubuh dan otak pada anak indigo. Kebanyakan dari mereka berpikir dengan menggunakan otak kanan. Saat stress anak kemudian mengembangkan pengaturan dalam otak, yang mengenyampingkan pemikiran logis dan proses berpikir rasional, sehingga muncul reaksi emosional yang berlebih. Ada pula anak yang menunjukkan dengan perilaku marah, kesedihan atau ketakutan yang mendalam bahkan kecemasan yang berlebih.
Memahami energi dasar dan mampu mengamati keadaan energi pada saat anak sedang tidak stabil sangatlah membantu bagi orang tua atau terapis, terutama saat bekerja sama dengan anak ini. Diperlukan adanya pemahaman dasar mengenai energi dengan mengajarkan pada mereka cara melindungi diri. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu dengan mengajarkan anak indigo dan orang tuanya terhadap teknik dalam menyeimbangkan energi dan cara untuk mengurangi tingkat stress pada anak, sehingga anak tidak terpengaruh pada energi yang negatif.
Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA BAGI ANAK TUNARUNGU
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
- Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
- Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
- Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian
telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994)
mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
- Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
- Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
- Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
- Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Survey tahun 1981 di Australia
menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan
ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron,
1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).
Perlu dijelaskan bahwa decibel
(disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini
diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya
tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan
bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
Bagi para fisikawan, decibel merupakan
ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu
gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan
tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan
udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen
fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu,
di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB
klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram,
yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah
tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga
orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz
(Ashman & Elkins, 1994).
Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu
tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui
pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga
cara tersebut.
1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang
lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi,
hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger,
1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang
tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan,
atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca
bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila
ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga
dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi”
itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan
pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan
terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca
bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang
menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi
di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara,
isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak
(Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D.
di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan
sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang
tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan
sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini
adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan
memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan
bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar
60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk
mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun
bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman
sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan
bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat
memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar
yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear
implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua
komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang
dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang
melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ
pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal
tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant
dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan
auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup
baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti
bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh
manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu
jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat
memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu
itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould
yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu
cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat.
Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa
isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku
memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga
mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa
isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk
masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram
bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan
tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam
pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan
auditori-verbal dan auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan
agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang
memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif
dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi
manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan
berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan
dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan
masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip
mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori
verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang
harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk
mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang
mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah
tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg
& Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas
responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup
“reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam
lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang
tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam
kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya
setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal
(Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan
atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan,
baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis
bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan
sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan
secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan
sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa
pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa
lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral.
Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut
di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari
empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan
pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan
itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam
kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua
tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan
keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan
tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata,
frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik
dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam
setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan
pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah
pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas
khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini
tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan
auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung
dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak
berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers
dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa
tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan
berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14
tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh
populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
Minggu, 11 November 2012
TERAPI BERMAIN UNTUK ANAK AUTIS
Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi menurut orientasi teori yang dianut konselor atau terapi. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psikodinamika dan client centered. Bentuk terapi bermain dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud dan Melanie Klein; kemudian yang paling dekat diidentifikasikan dengan tulisan Virginia Axline. Ada perbedaan dan persamaan antara dua pendekatan ini.
Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal mengadaptasi psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa anak-anak tidak dapat menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan mereka. Melanie Klein dan Anna Freud menggabungkan kegiatan bermain ke dalam proses terapeutik. Klein menggunakan permainan sebagai suatu kegiatan dalam menganalisis pekerjaan nyata. Klein melihat arti yang tidak disadari dan simbol seksual dalam sebagian besar kegiatan permainan dan ini diinterpretasikan kepada anak. Sebaliknya, Anna Freud tidak percaya bahwa semua permaianan mempunyai arti simbolik dan karena itu dia menggunakan permainan sebagai dasar untuk menginterpretasi.
Alfred Adler adalah ahli teori pertama yang melepaskan diri dari pikiran psikoanalisis tradisional. Adler lebih menempatkan pentingnya sosial dan dinamika antara pribadi dalam perkembangan kepribadian. Walaupun teori Adler diadaptasi oleh anak-anak dan keluarga mereka, tidak ada model untuk terapi bermain yang ada sampai sekarang. Hottman (dalam Djiwandono, 2005) mengadaptasi teori Adlerian dalam proses dan teknik yang digunakan pada anak dalam terapi bermain, dengan menyusun suatu pendekatan perkembangan yang dapat digunakan dalam berbagai setting. Beberapa teknik terapi bermain Adlerian, seperti tracking, restatement of content, reflection of feeling, and encouragement, dapat digunakan dalam terapi bermain, tanpa memandang orientasi teori terapis. Terapis yang bebas dan terstruktur, seperti yang dikembangkan oleh Levy dan Hambridge (dalam Djiwandono, 2005), memperkenalkan atau menciptakan situasi kehidupan yang menghasilkan kecemasan dalam bermain. Model-model ini ada yang kurang menekankan pada hubungan, seperti terapis mempersiapkan dan mengarahkan urutan permainan yang terstruktur, yang mendorong kebebasan emosional melalui katarsis. Terapi bermain client centered berdasarkan pada kepercayaan terapis dalam memperjuangkan anak secara wajar terhadap kesehatan dan pertumbuhan. Virginia Axline (dalam Djiwandono, 2005) memodifikasi pendekatan client centered (berpusat pada klien) Carl Rogers ke dalam suatu teknik terapi bermain. Model pertumbuhan ini tergantung pada kreasi dari kehangatan dan lingkungan terapeutik yang penuh perhatian dan suatu kepercayaan kepada kemampuan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Pada tahun 1960-an Bernard dan Louise Guerney mengembangan teknik pembaruan yang dikenal sebagai terapi filial (yang berhubungan dengan anak). Pendekatan terapi bermain client centered ini melibatkan orangtua yang sudah terlatih dalam mengatr pertemuan tiap minggu untuk bermain dengan anak-anak mereka dirumah. Dalam pertemuan bermain antara orang tua dan anak, anak-anak didorong untuk mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran,dan perasaan kepada orang tua mereka melalui terapi bermain.
Kita menyadari bahwa otak anak autisme seharusnya dapat mempelajari pengalaman positif dari lingkungan hidupnya secara aman dengan melibatkan sensoris tubuhnya secara penuh. Oleh karena itu, terapi bermain yang diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-penekanan terhadap hal-hal berikut.
a) Permainan yang cocok.
b) Sensoris motor.
c) Dilakukan dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana hubungan kasih sayang di antara keluarga.
d) Mudah dilakukan, bersifat ekonomis, dan mudah dibuat atau diperoleh.
Terapi permainan yang diberikan kepada anak autisme harus cocok atau sesuai. Yang dimaksud dengan kecocokan atau appropiate adalah semua kegiatan terapi permainan harus diprogram dan dapat dilaksanakan dengan keberadaan anak autisme. Dengan demikian, tugas-tugas yang diberikan sebagai bentuk kegiatan latihan terapi dapat dilakukan secara aman, meningkatkan kesehatan, dan membantu kepuasan diri anak autisme sesuai dengan harapannya.
Ginott (dalam Djiwandono, 2005) salah satu ahli klinis pertama mengembangkan secara rasional dalam memilih mainan, percaya bahwa mainan harus :
a) Memudahkan dalam mengembangkan kontak dengan anak.
b) Membangkitkan dan mendorong katarsis.
c) Membantu mengembangkan insight
d) Melengkapi dalam mengetes realita
e) Sebagai media untuk terjadinya perubahan.
Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
Langganan:
Postingan (Atom)